Kutipan dari Indoneisa Media Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
“Kami menduga bahwa pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tragedi 65 adalah Kopkamtib berdasarkan struktur pelanggaran HAM berat yang terjadi dari tahun 1965 sampai 1968 dan 1970 sampai 1978,” ujar Nur Kholik, Ketua tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 Komnas HAM Nur Kholis kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (23/7/2012). Ia didampingi Wakil Ketua tim ad hocKabul Supriadi dan anggota tim lain, yaitu Johny Nelson Simanjuntak dan Yosep Adi Prasetyo, serta Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 Bedjo Untung dan korban tragedi 1965-1966.
Kesimpulan ini diperoleh Komnas HAM setelah meminta keterangan dari 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, maupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut terjadi. Menurut Nur Kholis para saksi dari seluruh Indonesia tersebut menyatakan, Kopkamtib melakukan aksi kejahatan atas kemanusiaan itu secara sistematis dan meluas. Jumlah korban diperkirakan 500 ribu hingga 3 juta jiwa.
Kejahatan terjadi secara sistematis karena menggunakan pola yang sama. Para saksi mengungkapkan kejadian berawal dari tempat pemeriksaan Kopkamtib. Setelah itu korban mengalami tindak penyiksaan, perampasan harta benda, dan pembunuhan. Selain itu ada pula yang ditahan tanpa menjalai proses peradilan dan dikirimkan ke Pulau Buru untuk menjalani perbudakan.
Sementara, kejahatan terjadi meluas karena tidak hanya terjadi di Pulau Jawa dan Bali, tapi di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua karena belum sepenuhnya resmi bergabung dengan Indonesia. Kejahatan yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan syarat terjadinya pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Banyak korban adalah orang yang diidentifikasikan PKI dan simpatisannya. Peristiwa 65 dan setelahnya itu mengakibatkan penduduk sipil, tentara dan polisi jadi korban. Kalau korbannya tentara menurut pengakuan saksi, ada Batalion tentara tiba-tiba saja hilang atau semacam dibersihkan dalam peristiwa itu. Ada pula korban sipil yang dipenjara melihat kelompok anggota tentara mendekam di sebuah sel. Kami menduga pelaku mengetahui secara sadar bahwa yang diakibatkannya adalah pelanggaran HAM berat dan pelaku sadar jika yang diperbuatnya sejalan dengan kebijakan penguasa,” tambahnya.
Kabul menjelaskan, penyelidikan Komnas HAM merupakan penyelidikan pro justicia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan pada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti ke tingkat penyidikan.
Sekadar membuka informasi, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban disingkat Kopkamtib adalah organisasi yang langsung berada di bawah komando Presiden RI pada saat itu, Soeharto. Kopkamtib dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965 untuk melakukan pembasmian terhadap unsur PKI/Komunis di masyarakat.
Di bawah organisasi ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer yang melaksanakan tugas dan tujuan Kopkamtib. Berturut-turut pemegang pucuk komando Kopkamtib dari awal berdirinya hingga tahun 1988 adalah Soeharto, Maraden Panggabean, Soemitro, Sudomo dan Benni Moerdani
Home »
» Berita dari Indonesia Media
Posting Komentar